“Dan ketika Ibrahim diuji Rabbnya dgn beberapa
kalimat lalu Ibrahim menunaikannya..”.
Allah memerintah Ibrahim A.S. berhijrah ke Mekah.
Perintah ini bukan kali pertama bagi Ibrahim. Sebelumnya beliau telah
menunaikan hijrah beberapa kali dari Babilon ke Palestina; dari Palestina ke
Mesir; dari Mesir ke Palestina lagi. Semua beliau lakukan demi risalah suci.
Hijrah ke Mekah kemudian menjadi peristiwa yang
monumental di dalamnya syarat dgn pelajaran utk sebuah pengorbanan sejati.
Sekurang-kurangnya ada tiga aktor yang berperan penting Ibrahim Hajar Isma’il.
Ketinganya mewakili tiga unsur keluarga bapak istri dan anak.
Adalah Ibrahim A.S. yang sudah berumur mengharapkan
keturunan. Allah kemudian memberinya Isma’il. Bukan main girang dan bersyukurnya
Ibrahim ia mendapat karunia yang selama ini selalu dimintanya. Sampai akhirnya
datang perintah hijrah ke tempat yang kini dikenal dgn Mekah.
Ibrahim Hajar dan Isma’il pergi menuju padang
gersang yang tak bertuan itu. Tiada penduduk tiada tempat tinggal tiada tanaman
tiada air. Di tempat itulah Ibrahim rela meninggalkan istri dan bayinya. Semua
ia lakukan demi perintah Allah. Tak banyak bekal yang beliau tinggalkan kecuali
seteko air dan sekantong makanan.
Ibnu Katsir menceritakan saat Nabi Ibrahim hendak
berlalu sang istri menarik tali kekang tunggangannya dan bertanya:
“Apakah
Kanda akan meninggalkanku bersama anakmu di tempat yang tiada tanaman lagi ?”
Ibrahim A.S. terdiam. Hajar mengulangi
pertanyaannya hingga tiga kali dan tetap saja Ibrahim diam.
Sampai akhirnya Hajar mengganti pertanyaan:
“Apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan hal
ini?”
“Benar” jawab Ibrahim.
Hajar menimpali “Jika demikian Allah tidak akan
mempersulit kami.”
Sungguh sebuah dialog yang menusuk hati.
Merefleksikan kedalaman iman. Tercermin ketundukan sekaligus pengorbanan yang
menakjubkan. Berhijrah meninggalkan kemapanan dan barangkali rumah pekerjaan
sanak keluarga serta nilai materi dunia lain menuju tempat yang gersang tak
bertuan tak ada jaminan keamanan tidak juga makanan dan minuman apalagi sanak
keluarga dan handai taulan. Sebuah sikap dan keputusan yang memancarkan nilai
tawakal dan iman yang begitu tinggi bahwa hanya Allah yang Maha Menghidupkan
Maha Mematikan Maha Memberi Rezeki. Meyakini dan mewujudkan keyakinan tersebut
dalam praktik tentu tidak semudah meyakininya dalam teori. Tidak semudah
menghafal lafaz-lafaz Asmaul Husna. Ibrahim beserta keluarga tidak sedang
berteori tetapi tengah mengartikulasikan sebuah teori.
Sampai akhirnya terjadilah peristiwa bersejarah.
Perbekalan air dan makanan Hajar habis. Isma’il A.S. menangis kehausan krn
ibunya tak lagi dapat mengeluarkan ASI. Sang ibu kelabakan ia berlari berusaha
mencari air di antara Bukit Shofa dan Marwa. Usahanya tak menuai hasil.
Terjadilah mukjizat Isma’il menjejakkan kakinya dan terpancarlah air. Hajar
berseru:
“Zummi?
zummi?”
Sang air kemudian mengumpul jadilah ia telaga
zam-zam. Dalam syariat haji kesabaran dan keyakinan keluarga Ibrahim diabadikan
dalam amal Sa’i.
No comments:
Post a Comment